Senin, 20 Juli 2015

UU NO 8 TAHUN 1999 TENTANG KONSUMEN

UU NO 8 TAHUN 1999 TENTANG KONSUMEN



Masyarakat boleh merasa lega dengan lahirnya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun bagian terbesar dari masyarakat kita belum tahu akan hak-haknya yang telah mendapat perlindungan dalam undang-undang tesebut, bahkan tidak sedikit pula para pelaku usaha yang tidak mengetahui dan mengindahkan UU Perlindungan Konsumen ini.

Dalam pasal 62 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut telah diatur tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai berikut : 1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard rupiah) terhadap : pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen di dalam dokumen dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b ) 2) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral, pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.

Dari ketentuan-ketentuan pidana yang disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh para pelaku usaha masih ada lagi bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian barang. Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering ditulis dalam nota pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain bisa dikenai pidana, selama 5 (lma) tahun penjara, pencantuman klausula tersebut secara hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi seperti, “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” automatis batal demi hukum.

Namun dalam praktiknya, masih banyak para pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut, di sini peran polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping pencantuman klausula baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah tentang cara penjualan dengan cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang tersebut sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku usaha ini dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp.500 juta rupiah.

Dalam kenyataannya aparat penegak hukum yang berwenang seakan tdak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia perdagangan atau dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku usaha yang jelas-jelas telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan konsumen. Bahwa masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan hanya menjadi urusan YLKI atau lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab pidana bagi pelanggarnya tetap dapat dijalankan atau diproses oleh pihak Kepolisian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar